[membaca] THE 78-STOREY TREE HOUSE – Movie Opening Night

alasan utama aku menyukai buku ini (dan berlanjut penasaran ingin membaca kisahnya sejak awal, buku pertama, bari belum kebayang bisa nemu di mana selain di toko buku) adalah ilustrasinya nan imajinatif. walau disajikan dalam Bahasa Inggris, masih dalam kategori mudah dimengerti.

sepasang sahabat, Andy dan Terry, hidup di sebuah Rumah Pohon yang semula hanya terdiri dari 13 tingkat namun terus berkembang menjadi 26, lalu 39, lalu 52, lalu 65, hingga kini 78 (catatan: jumlah tersebut tercatat pada tahun 2016, sementara sekarang di tahun 2020, Rumah Pohon itu sudah mencapai 117 tingkat).

dari pembangunan terakhir, baik Andy mau pun Terry sepakat untuk menambahkan 13 fasilitas baru berupa:

  1. Cuci Mobil Drive-thru;
  2. Mesin Pengkombinasi yang dapat menggabungkan beberapa hal seperti kulkas dengan beruang, jerapah dan anjing laut;
  3. Tali Tegang (tight-rope, lazimnya dapat dilihat dalam pertunjukan sirkus akrobatik) yang tidak tegang-tegang amat;
  4. Wahana Piring Berputar 78 Level;
  5. Telur Raksasa yang belum menetas, merupakan ajang ujicoba tanpa ada yang tahu kelak seperti apa makhluk yang akan keluar dari sana;
  6. Ruang Sidang dengan hakim sebentuk robot bernama Edward Gavelhead (Si Kepala Palu) yang apa pun kondisi pembelaan atau tuntutan ya pasti terus mengetuk palu;
  7. Scribbletorium, yaitu tempat untuk coret-coret tulis-tulis sesukahati;
  8. Andyland yang merupakan tempat hidupnya seluruh hasil kloning terhadap Andy;
  9. Terrytown yang merupakan tempat hidupnya seluruh hasil kloning terhadap Terry;
  10. Jillville yang merupakan tempat hidupnya seluruh hasil kloning terhadap Jill;
  11. All-Ball Sports Stadium, yaitu suatu tempat di mana siapa saja dapat menonton dan/atau memainkan beragam pertandingan olahraga yang menggunakan bola pada satu saat bersamaan;
  12. Teater Film Terbuka dengan layar super raksasa;
  13. Tempat Penyimpanan Kripik Kentang (lemari besi) dengan sistem keamanan sangat super yang diperkuat 100 perangkap tikus, 100 pelindung laser, jebakan dengan beban 100 ton, dan seekor bebek super pemarah.

kendati yang terbayang adalah betapa serunya hari-hari mereka berdua melalui banyak kesenangan, kenyataannya kemudian tidaklah demikian. sebuah kekacauan timbul sepanjang berlangsungnya pembuatan film yang disutradarai oleh Mr.Big Shot.

Andy terlalu terobsesi sebagai bintang utama sekaligus banyak turut campur dan ingin selalu memenangkan pendapatnya mengatasnamakan kesempurnaan karya. Sang Sutradara punya penilaian berbeda maka lebih memilih Terry dengan keyakinan kelucuan-kelucuan yang kerap ia timbulkan akan memunculkan daya tarik tersendiri, memungkinkan film tersebut nantinya laku keras dan disenangi banyak orang.

Andy kecewa. dia tidak terima karena merasa jauh lebih baik dari Terry bahkan Mel Gibbon yang belakangan ditunjuk untuk memainkan peran sebagai dirinya.

namun, karena dilarang keras berada di sekitar lokasi syuting, Andy berusaha kuat-kuat agar tetap tenang dan senang di area lain Rumah Pohon mereka, meski ujung-ujungnya, hemh, justru bikin keadaan tambah kacau saking dia begitu meluap-luap tanpa kekang.

piring-piring kedapatan beterbangan lantas merusak set film. coretan cakar-ayam tanpa kendali tanpa perhitungan meledakkan Scribbletorium, mengakibatkan semua coretan yang ada berserakan, bertebaran dan nempel ke mana-mana, termasuk di area pengambilan gambar. Andy-andy kloningan memenuhi lokasi syuting sampai-sampai dek observasi patah.

tak ada yang tidak marah pada Andy. Terry pun hilang kepercayaan lantaran sahabatnya tidak lagi tampak macam sahabat melainkan lebih serupa rival paling wahid.

bukannya meminta maaf, Andy malah semakin menjadi. dia memutuskan untuk mulai melakukan apa-apa tanpa Terry, menghapus nama Terry, tidak mau lagi peduli, menutup mata atas bahaya besar mengancam juga tenggat waktu dari Mr.Big Nose yang mendekati habis.

  • Judul Buku: THE 78-STOREY TREE HOUSE – Movie Opening Night
  • Penulis: Andy Griffiths
  • Ilustrator: Terry Denton
  • Penerbit: Pan Macmillan Australia
  • Tahun Terbit: 2016

(Mas Nephie dalam sebuah karangan bebas)

Aku sedang suka mengalokasikan potongan-potongan waktu hari terangku untuk duduk-duduk menghadap ke luar jendela kamar, menumpukan dagu di atas lengan yang kulipat sengaja, melihat ke arah langit sembari sesekali mencomot sedikit bagian dari awan-awan neka rupa yang lewat-lewat, memperhatikan apa saja yang bisa kuperhatikan menggunakan mata dengan sebisanya tidak terpancing berpikir ke mana-mana atau malah jadi bertanya-tanya.

Kadang-kadang, aku cukup puas mendengar hasil olah vokal para tonggeret sebagai pengisi musik latar alamiah. Tapi, tidak jarang, aku juga kesulitan bila hanya terus-terusan merespon semuanya dengan diam, diam, dan lagi-lagi diam.

Kalau sudah demikian, aku akan membebaskan diriku untuk asal-asalan. Salah satunya dengan melantunkan Kidung Rumeksa ing Wengi padahal belum sampai masa datang malam.

Seandainya protes bakal bermunculan, aku ini sudah menyiapkan jawaban. Bahwa doa sesungguhnya tak terikat pada keterbatasan pemahaman manusia, bahkan melampaui penafsiran seorang yang terkenal super brilian ultra cendekia sejagadraya.

Mas Nephie merentang jaring dekat jendela kamar (foto dokumentasi pribadi: Ayu 'Kuke' Wulandari)

 

Beberapa hari berturut ke belakang, sejak kedapatan telah membangun jaring sutra  setengah lingkaran yang berjarak sekira satu hasta dari ruang bukaan jendela, Mas Nephie jadi satu-satunya Laba-laba Penenun yang kuberi porsi pengamatan jauh lebih besar.

Kunyatakan salah satu, lantaran di pekarangan depan itu ada tiga Nephila pilipes lainnya yang berkehidupan – satu masih betah berdiam di dekat pohon nangka, satu sudah tiga kali berganti posisi rentang jaring di pohon pisang sayap kanan, satu terakhir baru saja pindah dari pucuk pohon mangga ke pohon pisang dekat toren air persis lurus di seberang – dimana masing-masingnya belum mampu aku kenali siapa jantan (Mas Nephie) siapa betina (Mbak Ila).

Nah, pada suatu pagi, pukul tujuh kalau tak salah ingat, aku dikejutkan polah Mas Nephie yang begitu khidmat melapih benang halus keemasan yang keluar dari ujung perutnya. Sekilas duga, ia hendak merapikan bagian jaring yang disobek angin kencang semalaman.

Perlahan, ia berpindah dari sisi kanan mengarah kiri, meniti rentang benang yang belum rusak, berhenti untuk membuat semacam simpul pada jarak tak acak. Bila satu baris selesai, ia akan bergerak naik, lanjut kembali melakukan hal yang sama (menyimpul) dari kiri mengarah kanan tanpa abai cermat.

Tatkala kuperhatikan benar-benar, kerapatan jaring yang ia kerjakan tidak simetris secara keseluruhan, mungkin disesuaikan dengan mangsa seperti apa yang diincar. Namun, kalau lihat-lihat lagi tempat ia memilih sementara bersarang, teras, aku kok tidak yakin dia bakal sering-sering berolah panen besar.

Ingin sekali membantu Mas Nephie. Di benakku terlintas usulan agar dia coba-cobalah mengkonsumsi arum manis yang termahsyur kerap mumpuni memikat indera anak-anak.

Etapi, bukan anak manusia ya maksudnya. Serangga lah.

*******

karangan ini diikutkan dalam sebuah sayembara yang diumumkan oleh Mas Yusi Avianto Pareanom di akun medsos beliau jelang lebaran 2020, berhadiah beasiswa untuk Kelas “Menggambar dengan Kalimat”-nya Mas Sulak (A.S. Laksana) yang konon sarat gizi serta mengenyangkan, dikerjakan selama kurang-lebih satu setengah jam setelah tiga hari tiga malam idenya meramaikan ruang kepala.

tidak, namaku tidak ada tersiarkan sebagai salah satu pemilik lima prosa-pendek-maksimum-400-kata terbaik yang memenangkan hadiah. tapi, entah kenapa, aku tidak kehilangan rasa senang. mungkiiin, mungkin itu dampak kata arum manis yang kupilih, bukannya beling atau jembatan 😉

Joker: ia membuatku sedih sekaligus lega ketika ia berhasil memerdekakan dirinya

dalam benakku, dengan amat sederhana aku mengingat, Joker itu adalah sesosok penjahat berwajah badut yang bisa dikatakan musuh abadi Batman.

awal-awal mendapati karakternya via komik dan film kartun semasa kanak-kanak, secara pribadi aku tidak merasa ia sedemikian seram, hanya jailnya kerap kelewatan.

baru setelah aku jatuh suka pada cara almarhum Heath Ledger menginterpretasikan kegilaan dari si-bukan-manusia-super tersebut (The Dark Night, 2008), aku kepikiran: “apa sih yang sebenarnya terjadi atas Joker hingga ia berubah menjadi seperti itu? by nature memang terlahir berkepribadian jahat, atau ada badai chaos yang ujung-ujungnya tidak memberi ia banyak pilihan?”

bertahun-tahun kemudian, tepat minggu pertama Oktober 2019, melalui karakter Arthur Fleck yang diperankan Joaquin Phoenix dalam arahan Todd Philips, akhirnya aku mendapatkan jawaban.

selama kurang-lebih dua jam, seusai terlibat sebuah permainan emosi panjang, aliran rasa sedih yang makbul mengikatku teramat kuat malah bermuara di Samudra Kelegaan tak kira-kira luas. entah mengapa.

Joker (2019) - sumber gambar: IMDb
Joker (2019) – sumber gambar: IMDb

sejak mula, meski mataku samar melihat, aku bisa merasakan film berdurasi 122 menit yang tanpa-direncana-tanpa-disengaja aku tonton ini kental nuansa gelap.

gelap itu bukan sekadar dampak dominasi tone warna yang digunakan ya. gelap itu pun bukan semata akibat kemampuan Joaquin mengerahkan seluruh hasil eksplorasi emosinya agar siapa pun kita yang menonton dapat sedikit memahami dinamika  hidup seorang pria lajang (tanpa pasangan, penghasilan pas-pasan, tak punya banyak keahlian) berusia 40 tahun dengan masalah kejiwaan berat era 80an.

bila kamu memiliki telinga cukup peka, musik latar (film score) garapan Hildur Guðnadóttir (composer  perempuan kelahiran Islandia) cerdik melakukan penyergapan tenang, langsung menghunjam tak tanggung-tanggung dalam, tertanam, bahkan bukan tak mungkin membuatmu gelisah dan merasa terhantui saat waktu tayang usai – contoh paling sederhananya: Defeated Clown ini. seingatku sudah tersaji pada menit-menit pembuka.

joker_JPhoenix2
Joker (2019) – Sumber Gambar: IMDb

keseharian Arthur Fleck digambarkan (IMHO) membosankan. hal-hal yang pasti menghampirinya dari minggu ke senin, dari senin ke selasa, dari selasa ke rabu, ,dari rabu ke kamis, dari kamis ke jumat, dari jumat ke sabtu, hingga kembali bertemu minggu itu tak jauh-jauh dari kegagalan, penolakan, perisakan.

tak terhitung seberapa banyak luka tendangan juga pukulan yang sudah pernah tubuhnya terima, pria tersebut tampak betul cenderung memutuskan untuk tidak melawan, tidak satu kali pun melawan, cuma berusaha terus bertahan (termasuk dengan cara tak alpa mengkonsumsi tujuh macam obat kategori penenang) selaras bertubi-tubi kesakitan. tak terhitung seberapa banyak tatapan iba baur dengan perasaan tak nyaman orang-orang di sekitar harus ia terima sehubungan ganjil tawa yang diperdengarkan, anak adopsi Penny Fleck itu lebih memilih untuk diam selepas menunjukkan kartu berisi keterangan perihal kondisinya yang tak biasa.

aku sempat tergoda untuk masuk jauh ke kedalaman matanya, gerbang dari semacam blackhole yang aku sendiri tak yakin akan sanggup menghadapi bila nekad menelusuri lantas menguak satu per satu misteri di sana. aku sempat berkali-kali pula tergelincir trenyuh-belas, ringan nian kepikiran “kok ya ini orang nasibnya gini-gini amat sih ya?”, tanpa hatiku ikut-ikutan ribut mengemukakan pertentangan-pertentangan apalagi memaparkan pembandingan.

namun, puncaknya, saat prelude kesejatian sosok Joker resmi rilis di malam pembunuhan tiga bankir muda pegawai Thomas Wayne (ayah Bruce Wayne si Batman) dalam serangkaian kereta bawah tanah yang tengah berjalan, saat tak lagi secara perlahan kesadaran Arthur Fleck habis dilumat kegilaan yang justru tampak begitu membebaskan pria itu dari segala tanggungan beban, aku menyerah menuruti rasa penasaran dan berupaya keras untuk tidak sembarangan kasihan.

Joker (2019) - sumber gambar: IMDb
Joker (2019) – sumber gambar: IMDb

paling disadar, sepanjang pemutaran film bergenre thriller psikologis ini aku tidak memperdengarkan corak mana pun tawa yang aku punya.

kalau senyum sih ada, masih bisa ada, terutama di bagian aku kok ya ndilalah merasa lega.

tapi, yang namanya tertawa: sama sekali tidak! bahkan sewaktu adegan Gary, si badut bertubuh katai, tidak bisa membuka pintu sendiri sehabis menyaksikan kengerian yang dialami Randall dan lebih dari setengah penonton di Studio 4 CGV Kings Shopping Center kala itu tergelak: t-i-d-a-k!

selebihnya, entah apakah karena aku kelamaan mengendapkan ingatan akan pengalaman meretas kisah transisi salah satu karakter penjahat tertua dalam sejarah komik ini – ia pertama kali dimunculkan DC Comic pada 25 April 1940 – dan bukannya langsung menulis, entah apakah karena otakku memutuskan untuk tidak menyediakan ruang luas terhadap setiap detail detik-ke-detik menit-ke-menit, aku tidak bisa berjebah menceritakan.

semengga kenangan yang mungkin boleh digolongkan relatif manis bagi mata serta manah-ku agaknya ikut teralun seiring singkat hadir hentak sebuah lagu kelahiran tahun 1972, lagu yang menggenapkan ekspresi kemerdekaan Joker, kemenangannya atas sepaket Arthur Fleck, kamu tentu diperkenankan ikut mendengar –  judulnya: Rock and Roll, dibawakan oleh Gary Glitter yang energik dan gemerlap pada zamannya.

yakni ketika lebih dari puluhan anak tangga dituruni sambil ditingkahi acak lepas tarian seorang pria berambut hijau, berkemeja hijau dipadupadankan dengan vest kuning dan jas merah, sebelum jelang nyawa Murray Franklin melayang disaksikan seantero Gotham.

can you see where you call in the juke box hall when the music played? and the world sang rounds to a pretty sound, no sorrow base..

Joker (2019) - sumber gambar: IMDb
Joker (2019) – sumber gambar: IMDb